Ummat Islam di Bawah Naungan Demokrasi
Demokratisasi adalah sebuah gerakan baru yang saat ini ramai terjadi di hampir setiap negara. Tidak hanya ramai di negara-negara barat yang memang dikenal sebagai nenek moyang demokrasi, sistem ini pun merambah pesat dan berkembang di negara-negara timur. Tentu jika kita menyebut negara timur dalam bahasan ini, yang dimaksud adalah negara-negara kaum muslimin.
Lalu bagaimanakah wajah ummat Islam di bawah naungan demokrasi? Seberapakah untungnya bagi ummat Islam dari sistem demokrasi ini? Dan sejauh manakah perkembangan yang terjadi selama ini bagi ummat Islam sejak demokrasi menaungi mereka?
Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul ke permukaan sebagai bentuk keingintahuan kita tentang sepak terjang demokrasi dalam menaungi kaum muslimin. Tidak hanya itu, kita pun bisa menyaksikan sendiri bagaimana kondisi kaum muslimin di seluruh dunia setelah negara-negara mereka menganut sistem demokrasi.
Berawal dari sinilah, kita bisa menganalisa dan mampu memberikan penilaian yang kritis terhadap sistem demokrasi. Mengapa harus kritis? Tentu saja harus, karena bagaimanapun juga, demokrasi tidak lain adalah produk pemikiran manusia. Segala sesuatu yang dihasilkan oleh manusia, termasuk ide-ide demokrasi, memiliki kemungkinan salah dan benar, tepat dan keliru, atau bahkan bermanfaat dan berbahaya. Terlebih dengan kondisi masyarakat kita saat ini yang begitu menyanjung-nyanjung demokrasi, tentu sikap kritis dalam menilai demokrasi itu harus lebih digencarkan.
Belajar dari Aljazair
Agama Islam masuk ke Aljazair pada saat Daulah Khilafah Bani Umayah, sekitar pada tahun 682 M. Berawal dari kawasan Tunisia, tentara Islam terus berdakwah dan berjihad, serta bergerak terus menuju kawasan-kawasan di sebelah barat lainnya seperti Aljazair, Maroko, dan Libya. Kawasan-kawasan ini kemudian dibebaskan dari penjajahan Romawi, dan hidup di bawah naungan Islam. Agama Islam mendapat sambutan yang sangat luar biasa di daerah ini karena ajarannya yang rahmatan lil alamin. Selain membebaskan kawasan-kawasan ini dari penindasan Romawi, Islam menyeru mereka pada kalimat tauhid yang menyatukan seluruh suku bangsa di bawah ukhuwah Islamiyah.
Namun tak dapat dipungkiri, kejayaan Islam setelah itu mulai memudar dan menunjukkan gejala-gejala keruntuhan. Benar saja, akibat arus pemikiran-pemikiran yang sesat dari luar seperti sekularisme dan pemikiran dari dalam seperti sufisme, ajaran Islam yang murni semakin ditinggalkan. Saat itu di kawasan Aljazair, penjajah Prancis masuk ke wilayah ini, tepatnya pada tahun 1830 M.
Meski demikian, masih banyak kaum muslimin yang setia dengan ajarannya. Untuk menghadapi tentara penjajah, genderang jihad pun diserukan dan dikobarkan. Perlawanan demi perlawanan terus berlanjut sampai kemudian Prancis harus mengakui kemerdekaan Aljazair pada tahun 1962. Namun, seperti negara-negara kaum muslimin lainnya termasuk Indonesia, kemerdekaan ini menjadi semu karena yang berkuasa di Aljazair setelah kemerdekaan itu adalah agen-agen Prancis sendiri. Aljazair kemudian menjadi negara sekular dengan sistem republik yang dipimpin oleh boneka dan kader-kader binaan Prancis.
Dengan jadinya Aljazair sebagai negara sekular, negara ini sangat bergantung pada Prancis. Sistem sekular yang dianut Aljazair ini hanya menguntungkan negara asing dan para penguasa sekular. Hakikatnya, penjajahan masih berlangsung. Aljazair kemudian menjadi negara yang banyak berutang pada Prancis dan IMF. Tentu saja, sama dengan negara-negara kaum muslimin seperti Indonesia, IMF memaksa Aljazair melakukan liberalisasi radikal, memeras dengan bunga utang yang berlipat-lipat, serta ancaman-ancaman yang menyudutkan mereka agar tetap ‘setia’ kepada Prancis.
Kondisi ini semakin memperparah keadaan di Aljazair. Perekonomian menjadi hancur dan kondisi masyarakat semakin terpuruk. Kebobrokan terjadi di hampir segala aspek, termasuk budaya korupsi yang semakin mendarah daging.
Kondisi yang sangat menyedihkan akibat sistem sekular ini mendorong munculnya gerakan-gerakan Islam yang menyerukan kembali kepada ajaran dan aturan Islam. Sekularisme dianggap telah gagal dan berakibat buruk. Untuk itulah, jalan yang bisa menyelamatkan kaum muslimin hanyalah Islam. Gerakan-gerakan Islam ini menyuarakan bahwa Islam adalah solusi bagi setiap permasalahan. Ya, Islam is Solution, adalah opini-opini yang terus dibangun untuk mewujudkan Islam sebagai solusi bagi rakyat Aljazair.
Rakyat pun menyambut ajakan itu karena mereka menyaksikan dan merasakan sendiri, bagaimana sistem sekular telah gagal mensejahterakan rakyat. Apalagi negara ini pernah merasa bagaimana indah dan sejahteranya hidup di bawah naungan Islam, yakni saat mereka menjadi bagian dari negara Khilafah Islamiyah selama berabad-abad lamanya. Dengan kata lain, kaum muslimin Aljazair mulai merintis jalan Islam sebagai payung hukum di negara mereka.
Sayangnya, perjuangan untuk kembali kepada Islam ini, tidak semudah yang diharapkan. Kesulitan ini semakin terasa karena saat itu, arus demokrasi yang terjadi di negara-negara barat, berkembang pesat. Tentu saja, pemikiran demokrasi ini mempengaruhi rakyat dan pemerintah Aljazair. Benar saja, pengaruh demokrasi dari barat ini, semakin dirasakan oleh Aljazair.
Pada tahun 1980-an, pemerintah menjanjikan kebebasan politik yang lebih luas dan menawarkan sistem demokrasi untuk menanggapi ketidakpuasan rakyat. Untuk menyukseskan demokratisasi ini, pemerintah melakukan beberapa upaya politik seperti referandum nasional, revisi konstitusi yang menghapuskan sosialisme Aljazair, mengakhiri monopoli FLN sebagai partai pemerintah yang sifatnya tunggal, dan menawarkan sistem multipartai. Sebagai wujud kesukesan demokrasi ini, Aljazair menyelenggarakan pemilu nasional multipartai pada 26 Desember 1991. Ini adalah kali pertama Aljazair menyelenggarakan pemilu sepanjang sejarah.
Kemudian, kondisi politik dan sistem pemerintahan yang sudah berubah ini dipandang sebagai peluang emas oleh beberapa gerakan Islam, antara lain adalah FIS, salah satu partai berideologi Islam yang kemudian terjun ikut pemilu. Hasilnya memang sangat mengejutkan banyak pihak. FIS berhasil menang pada pemilu nasional putaran pertama. FIS memenangkan 47,54 persen suara atau mendapat 188 dari 231 kursi. Sisa kursi kemudian akan ditentukan dalam pemilu putaran kedua yang diyakini banyak pihak akan dimenangkan kembali oleh FIS.
Tentu saja, kemenangan FIS ini disambut gembira oleh kaum muslimin Aljazair. Terlebih, bagi mereka yang selama ini percaya bahwa jalan demokrasi bisa dijadikan sebagai wadah dalam merebut kekuasaan. Bisa dikatakan bahwa kemenangan FIS di Aljazair adalah sebuah kemenangan pertama gerakan Islam dunia yang terjadi lewat sistem demokrasi. Di beberapa negara seperti Indonesia, gerakan-gerakan Islam yang ikut pemilu hanya mendapat suara yang kecil. Terlebih saat ini, partai-partai yang berbasis Islam begitu banyak hingga tidak mampu menampung satu suara dalam satu partai.
Tidak lama setelah pemilu, kemenangan FIS menimbulkan kecaman dari kelompok-kelompok sekular. Mereka menganggap kemenangan FIS ini akan mengancam pemerintahan Aljazair. Dari anggapan itulah, muncul upaya-upaya dari beberapa kelompok yang tergabung sebagai lawan politik FIS, untuk menghentikan kemenangan FIS. Mereka menuduh FIS dan menyatakan bahwa partai ini telah membajak demokrasi untuk membangun pemerintahan fundamentalis Islam yang anti demokrasi. Mereka tidak memperdulikan soal kemenangan FIS yang menang secara demokratis.
Selanjutnya, dengan alasan mempertahankan keamanan dan stabilitas negara, militer dilibatkan oleh kelompok-kelompok yang menentang kemenangan FIS. Sebuah badan boneka militer kemudian dibentuk. Badan itu adalah Dewan Negara atau Dewan Keamanan Tertinggi. Sejak saat itulah, mulai terjadi penindasan terhadap FIS dan pihak-pihak yang dekat dengan FIS. Setelah memberlakukan keadaan darurat, hasil pemilu akhirnya dibatalkan. Sebagai puncaknya, FIS dinyatakan sebagai partai terlarang di Aljazair. Para pemimpin, anggota, dan orang-orang yang dicurigai sebagai simpatisan FIS, ditahan dan disiksa. Lembaga-lembaga sosial milik FIS ditutup, aset-aset mereka disita, dan ulama-ulama yang kritis diganti dengan ulama-ulama hasil binaan pemerintah.
Adapun sikap negara-negara barat terhadap kondisi di Aljazair saat itu, hanya sebatas komentar kosong. Jelas, mereka tentu saja mendukung upaya pemberangusan FIS meskipun partai ini nyata-nyata menang secara demokratis. Bagi Barat, demokrasi hanya berlaku jika menguntungkan kepentingan mereka. Sebaliknya, jika kemenangan sebuah demokrasi bisa menimbulkan ancaman bagi mereka seperti kemenangan partai yang bebasis Islam ini, maka mereka akan menghentikan kemenangan itu. Mereka tidak rela jika Islam memenangkan sebuah pemilu. Hal ini merupakan bukti nyata kebohongan demokrasi yang dikampanyekan oleh Barat. Singkatnya, demokrasi yang ditawarkan selama ini hanyalah sebuah kebebasan bersyarat yaitu tidak menjadikan Islam sebagai landasan hukum dan tidak mengganggu kepentingan barat. Titik!
Wajah Busuk Demokrasi
Sebagaimana sistem-sistem terdahulu seperti sekularisme atau sosialisme, ternyata demokrasi tidak lebih dari sekedar sistem yang dijadikan alat oleh negara-negara barat untuk merebut hati kaum muslimin, yang hakikatnya adalah menghancurkan Islam dan kaum muslimin itu sendiri.
Kita bisa melihat bagaimana kondisi Irak, Palestina, Afghanistan, dan negara-negara kaum muslimin lainnya, termasuk Indonesia. Jumlah kita sangat banyak, namun banyaknya jumlah itu ibarat buih di lautan. Sama sekali tidak menjanjikan kekuatan dan kejayaan Islam. Demokrasi yang dipilih, tidak lain hanya sebuah sistem yang tetap saja membatasi keinginan kaum muslimin secara utuh. Yang berkuasa tetaplah negara-negara yang menciptakan demokrasi. Adapun kita sebagai kaum muslimin, tidak lebih sebatas meramaikan kancah demokrasi.
Yang menjadi inti masalahnya hanya satu, yaitu jangan mengganggu kepentingan barat. Nah, selama ini Islam dipandang sebagai ajaran dan ideologi yang bisa mengancam kenyamanan negara-negara barat. Namun barat mengakui bahwa mereka akan sangat kesulitan jika menghancurkan Islam secara fisik seperti perang dengan senjata api. Untuk itulah, jalan pertama yang mereka tempuh adalah ‘merangkul kaum muslimin’ dalam sebuah wadah yang dinamakan demokrasi.
Untuk memudahkan penawaran demokrasi ini, mereka mengeluarkan ide-ide lainnya yang dirasa mampu menarik simpati kaum muslimin agar terjun kepada sistem demokrasi dan bekerja sama dengan barat. Ide-ide itu seperti kebersamaan, kerakyatan, kebebasan berpendapat, dan ide-ide lainnya yang sifatnya bisa diterima oleh semua kalangan manusia, entah itu muslim atau non-muslim.
Dalam demokrasi dinyatakan bahwa kekuasan sebuah negara berada di tangan rakyat. Suara rakyat bisa menentukan kekuasaan sebuah negara. Tentunya, suara rakyat ini adalah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat. Kemudian setelah itu, tentu akan banyak para politisi Islam yang akan menilai bahwa demokrasi adalah jalan untuk menegakkan hukum Islam dengan cara yang relatif damai. Sayangnya mereka lupa, bahwa demokrasi sendiri diciptakan untuk mengelabui kaum muslimin agar bisa kerja sama dengan barat. Buktinya jelas, kalaupun ummat Islam -dalam hal ini tergabung dalam beberapa partai Islam- berhasil memenangkan pemilu -sebagai bagian dari demokrasi-, tentu kemenangan ini tidak akan menjadikan tegaknya hukum Islam di negara yang menyelenggarakan pemilu tersebut. Mengapa?
Alasannya hanya satu: Jika sebuah negara yang menganut sistem demokrasi menjadikan Hukum Islam sebagai payung hukum negara tersebut, maka hal itu sama saja melanggar sistem demokrasi. Karena pada hakikatnya, demokrasi itu berawal dari sebuah keragaman, apakah itu suku, bangsa, bahasa, atau agama. Kemudian keragaman itu tergabung dalam sebuah kebersamaan, yaitu satu hukum. Tentu saja, hukum yang dipilih adalah hukum yang mewakili semua keragaman itu. Bukan Hukum Islam.