gravatar

Sudah Jadi Tradisi

Alhamdulillah, beberapa minggu lagi kita segera memasuki bulan suci Ramadhan. Ada hal menarik yang cukup lama berkembang di negara kita, yaitu sebuah kebiasaan yang nampaknya sudah menjadi ‘tradisi tahunan menjelang Ramadhan’ namun tradisi ini cukup memprihatinkan. Ya, sebuah tradisi yang memprihatinkan karena tradisi ini disambut baik pada masanya, namun kembali mendapat cap negatif pada akhirnya. Atau sebaliknya, men-dapat sambutan tidak baik pada awalnya, namun tetap dipandang sebagai kondisi yang harus diterima.

Berikut adalah beberapa tradisi yang saya maksud, yakni beberapa fenomena yang sering kita saksikan di masya-rakat kita menjelang Ramadhan.

Pembersihan tempat maksiat
Pembersihan tempat-tempat hiburan yang diindikasikan banyak mengandung praktik-praktik maksiat serta penyuluhan atau pembinaan para pekerja seks komersial. Fenomena ini pasti kita jumpai pada beberapa hari menjelang Ramadhan. Aparat pemerintah di masing-masing daerah disiagakan untuk membereskan tempat-tempat hiburan yang dipandang sebagai ajang tempat maksiat, seperti kedai-kedai minuman keras, diskotik, bar, atau tempat panti pijat plus. Bahkan, masyarakat setempat pun kadang dilibatkan untuk membersihkan lingkungan mereka dari tempat-tempat seperti itu.

Tidak hanya itu, para pekerja seks komersial yang dinilai sebagai ‘korban’ pun ramai-ramai dibina dan diberikan penyuluhan untuk tidak ‘mangkal’. Entah, apakah penyuluhan untuk berhenti dari dunia kelam itu dimaksudkan untuk selamanya atau selama bulan Ramadhan saja. Tapi jika kita perhatikan secara seksama, penyuluhan itu hanya bersifat sementara. Toh buktinya me-reka yang dulu bekerja sebagai PSK, setelah Ramadhan pun kembali lagi bekerja di dunia asalnya, bahkan jum-lahnya pun semakin bertambah.

Kenapa semakin bertambah? Selama Ramadhan, boleh jadi para wanita ini pulang kampung untuk ‘istirahat’ beberapa minggu. Setelah Ramadhan usai, apa yang terjadi? Jelas bukan, pasca Ramadhan terutama setelah lebaran, orang-orang ramai berdatangan ke kota untuk mengadu nasib, terutama mencari pekerjaan di Ibu Kota. Jika mereka yang selama Ramadhan ‘istirahat’ untuk tidak bekerja sebagai PSK, tentu setelah usainya Ramadhan, mereka kembali lagi untuk bekerja dan kebanyakan dari mereka mengajak rekan-rekan mereka di kampung untuk bekerja seperti dirinya.

Pun dengan para pekerja hiburan yang lain. Jika mereka tidak punya kemampuan untuk bekerja di kota-kota besar, tentu pilihan menjadi pekerja-pekerja tempat hiburan yang kental dengan kemaksiatan ini adalah pilihan yang terakhir. Dan akhirnya, tempat-tempat hiburan yang sarat maksiat ini pun kembali beroperasi. Itu artinya, pembersihan tempat-tempat maksiat menjelang Ramadhan, tidaklah cukup untuk menghentikan praktik prostitusi. Tapi jika dipikir-pikir, negara pun nampaknya ‘membutuhkan’ praktik prostitusi ini karena toh hal tersebut menghasilkan devisa besar bagi negara, kan?

Artis ramai-ramai berjilbab
Sebagai muslim dan muslimah, tentu kita menyambut baik pada siapapun yang kembali kepada nilai-nilai Islam. Seorang wanita yang mengenakan jilbab dan benar-benar dalam menutup aurat, tentu membutuhkan dukungan yang penuh dari seluruh kaum mus-imin. Siapapun dirinya, darimanapun asal-usulnya, dan bagaimanapun kondisi dirinya, dia membutuhkan sokongan dari muslim dan muslimah lainnya di saat ia kembali kepada jalan Islam yang lurus.

Namun apa jadinya jika kembalinya ia kepada Islam hanyalah sebuah kamuflase yang tidak berasal dari hati dan pikiran yang tulus? Ia berjilbab hanya karena Ramadhan adalah bulan ‘islami’ hingga ia patut berjilbab atau mengenakan pakaian yang syar’i. Ini fakta dan hal itu menimpa pada sebagian besar artis-artis di negara ini.
Menjelang Ramadhan, mereka ramai-ramai berkunjung ke toko-toko busana Islami untuk membeli beberapa jilbab dan baju muslim lainnya. Lalu mereka kenakan jilbab itu dan berbicara di depan kamera bahwa alasan mereka mengenakan jilbab itu adalah untuk menghormati bulan Ramadhan.

Masya Allah, sebuah fenomena yang memprihatinkan bukan? Satu sisi kita sangat menyambut positif sikap mereka yang menghargai Ramadhan, namun sisi lainnya kita sangat menyayangkan argumen mereka yang hanya mengenakan jilbab selama bulan Ramadhan saja. Lalu pada bulan-bulan berikutnya, ya sama saja, mereka kembali buka aurat dan berpose di depan publik serta menebar benih-benih perzinahan yang mungkin tak pernah mereka sadari.

Naiknya harga sembako
Inilah tradisi yang ibaratnya seperti makan buah simalakama. Mau tak mau kita harus menerima keadaan yang memberatkan ini. Jika harus mengeluh dengan kenaikan harga sembako, maka hal itu tidak akan menurunkan harga.

Memang banyak faktor yang mempengaruhi naiknya harga-harga menjelang Ramadhan, seperti kurangnya pasokan, mahalnya biaya distribusi, atau karena penimbunan oleh sebagian oknum pedagang yang memanfaatkan waktu-waktu menjelang Ramadhan.

Jika kasus kenaikan harga ini terjadi akibat kurangnya pasokan dan mahalnya ongkos distribusi, maka dalam hal ini pemerintah wajib ikut serta untuk membuat solusinya. Pemerintah harus menyuplai barang-barang pokok yang dibutuhkan oleh masyarakat dan didistribusikan secara tepat ke pasar-pasar di setiap daerah.

Adapun jika kenaikan harga ini adalah karena ulah para oknum pedagang atau distributor yang menimbun barang produksinya hingga menunggu waktu yang ‘tepat’, maka sesungguhnya inilah yang patut diwaspadai. Ini terjadi karena sebagian besar dari para oknum ini menginginkan harga yang lebih besar dari harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ini menarik karena biasanya, kasus penimbunan itulah yang paling sering terjadi dan menjadi penyebab utama mengapa harga-harga sembako menjadi naik. Karena, aksi penimbunan barang yang dilakukan oleh seorang pedagang misalnya, pasti akan berakibat buruk pada pedagang lainnya, tentu mereka akan kekurangan produksi, terlebih jika barang yang ditimbun adalah kebutuhan pokok masyarakat yang disuplai oleh negara. Pemerintah dalam hal ini pastinya akan kewalahan dalam memasok barang yang semestinya cukup bagi seluruh masyarakat. Akibatnya, harga-harga kebutuhan sembako menjadi naik dengan alasan bahwa pasokan produksinya kurang, padahal ditimbun oleh sebagian oknum pedagang.

Aksi para penimbun inilah yang paling sering terjadi. Mereka menyimpan barang dagangan dalam jumlah besar dan akan menjualnya setelah harga barang-barang tersebut naik. Memang menguntungkan, namun tetap saja merugikan orang.

Oleh karena itu, kesigapan pemerintah dalam hal ini sangat diharapkan oleh masyarakat. Adanya sidak atau insfeksi mendadak yang dilakukan oleh aparat pemerintah di pasar-pasar tertentu merupakan salah satu cara yang patut mendapat sambutan positif. Bagai-manapun juga, kebutuhan akan barang-barang pokok adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawartawar lagi. Semua pihak harus terlibat aktif dalam menghadapi kondisi ini agar Ramadhan benar-benar dirasakan berkah oleh seluruh masyarakat.