KEMISKINAN, Wajah Lama Indonesia
Di Indonesia, kemiskinan begitu mudah ditemukan. Tidak hanya di desa-desa, di kota-kota besar pun, kemiskinan sudah menjadi tontonan biasa yang kian hari kian bertambah. Lihatlah, berapa banyak rumah-rumah kumuh berderet di sepanjang bantaran kali. Atau lihatlah pula di hampir setiap sudut kota Jakarta, di sana terdapat beberapa pemukiman padat yang tidak jarang mengganggu lingkungan sekitar. Parahnya lagi, jalan-jalan dan fasilitas umum, nampaknya sudah menjadi tempat tersendiri bagi kaum migran yang sedang mengadu nasib. Hampir tidak ada ruang yang kosong di Jakarta. Semuanya padat. Padat karena disesaki orang-orang yang bermukim di sana.
Belum lagi dengan para pengemis jalanan dan kaum gelandangan yang sibuk mencari uang siang dan malam. Mereka terus memadati ruang yang memang telah padat sebelumnya, hanya untuk mencari sesuap nasi. 'Sesuap nasi', sebuah uangkapan yang tidak realistis memang, namun begitulah kenyataannya.
Sayangnya, jumlah mareka justru bukan berkurang. Secara statistik kependudukan, jumlah penduduk di Ibu Kota dan sebagian kota-kota besar lainnya semakin tahun semakin bertambah. Namun, bertambahnya jumlah penduduk ini tidak diimbangi dengan bertambahnya lapangan pekerjaan. Justeru, bertambahnya penduduk diiringi dengan bertambahnya angka pengangguran.
Mengapa? Diakui atau tidak, semua ini terjadi akibat sistem ekonomi kita yang cenderung bepihak pada kapitalisme. Mau tidak mau, yang punya banyak modal akan mudah menguasai pasar dan suka atau tidak suka, si miskin yang hanya punya sedikit modal untuk bekerja, tidak akan lama lagi akan gulung tikar. Itulah prinsip kapitalisme.
Tidak hanya mengakibatkan kemiskinan, kapitalisme juga telah mengakibatkan tingginya angka kesenjangan antara yang kaya dengan yang miskin. Perputaran uang tidak menentu. Benar kata orang, yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Uang mengalir hanya di kawasan orang-orang kaya. Sedangkan orang-orang miskin, hanya mendapatkan sebagiannya saja. Itupun diperebutkan oleh yang lainnya dengan jumlah yang banyak. Hampir 80 % "roda uang" berputar di setiap tangan-tangan konglomerat sedangkan 20 % nya lagi, berputar di setiap tangan-tangan orang melarat. Padahal, jumlah orang kaya di Indonesia masih tergolong sedikit dibanding dengan jumlah orang-orang miskin. Ironis memang.
Satu hal yang unik lagi adalah, kapitalisme memandang bahwa problem ekonomi disebabkan oleh adanya kelangkaan barang dan jasa, sementara populasi dan kebutuhan manusia terus bertambah. Akibatnya, sebagian orang terpaksa tidak mendapat bagian, sehingga terjadilah kemiskinan. Tentu saja, pandangan ini keliru, dan bertentangan dengan fakta.
Mari kita renungkan, jumlah kekayaan alam yang disediakan oleh Allah untuk manusia pada dasarnya adalah cukup. Lihatlah di Indonesia, semua ada dan semua tersedia. Negeri ini memiliki banyak kekayaan alam yang terhampar luas. Hanya saja, apabila kekayaan alam ini tidak dikelola dengan benar, tentu akan terjadi ketimpangan ekonomi. Jadi, faktor utama penyebab kemiskinan adalah buruknya pengelolaan kekayaan. Dari sinilah pentingnya sebuah sistem atau aturan yang jelas dan sempurna untuk mengelola anugerah Allah ini.
Islam memandang Kemiskinan
Allah berfirman: "Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan?" (QS. Al-Baqarah: 268).
Pada ayat tadi, jelaslah bahwa kemiskinan adalah salah satu hal yang dijadikan setan sebagai ancaman bagi manusia. Buktinya, hampir setiap manusia jatuh miskin. Karena itulah, Islam sebagai risalah paripurna dan sebuah ideologi yang shahih, memiliki perhatian khusus terhadap masalah kemisikinan dan upaya-upaya untuk mengatasinya.
Dalam Islam, seorang miskin adalah orang yang tidak mempunyai kecukupan harta untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, baik pangan, sandang ataupun papan.
Islam menjadikan kebutuhan pokok tersebut sebagai standar untuk membedakan apakah dia termasuk golongan miskin atau golongan yang berkecukupan (kaya).
Allah berfirman: "Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma"ruf? (QS. Al-Baqarah: 233).
"Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kamu bertempat tinggal sesuai dengan kemampuanmu?" (QS. Ath-Thalaq: 6).
Rasulullah bersabda: "Dan kewajiban para suami terhadap para istri adalah memberi mereka belanja (makanan) dan pakaian?" (HR. Ibn Majah dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Sebagai kebutuhan pokok, maka ketiga hal tersebut harus terpenuhi secara keseluruhan. Artinya, kebutuhan pangan, sandang, dan papan tidak berarti sekadar apa adanya, melainkan harus mencakup hal-hal yang berkaitan dengannya. Sebagai contoh, kebutuhan pangan juga termasuk peralatan dapur, minyak tanah, atau gas, rak piring, dan lain-lain. Kebutuhan sandang adalah apa-apa yang diperlukan seperti peralatan berhias bagi istri, lemari pakaian, alat setrika, cermin dan lain-lain. Adapun kebutuhan papan termasuk juga tempat tidur dan perabotan rumah tangga. Tentu saja, semua ini tergantung dari pandangan umum masyarakat sekitar.
Lebih dari itu, Islam pun ternyata menjelaskan kepada kita bahwa tolak ukur kemiskinan itu tidak hanya berkisar antara pangan, sandang, dan papan. Ada hal lain juga yang termasuk kebutuhan pokok seperti kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Hanya saja, pemenuhan kebutuhan tersebut tidak dibebankan kepada individu, melainkan langsung menjadi tanggungjawab negara yang memerintah.
Dari pemaparan ini, kita sedikit memahami bahwa untuk mengentaskan atau mengurangi angka kemiskinan, diperlukan upaya keras yang saling terkait antara individu-individu masyarakat dengan pemerintah sebagai aparatur negara.
Islam mewajibkan laki-laki yang mampu dan membutuhkan nafkah, untuk bekerja dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Rasulullah bersabda, "Salah seorang diantara kalian pergi pagi-pagi mengumpulkan kayu bakar, lalu memikulnya dan berbuat baik dengannya (menjualnya), sehingga dia tidak lagi memerlukan pemberian manusia, maka itu baik baginya daripada dia mengemis pada seseorang yang mungkin memberinya atau menolaknya." (HR. Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi)
Hadits di atas menunjukan adanya kewajiban bagi laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Bagi para suami, syara' juga mewajibkan mereka untuk memberi nafkah kepada anak dan istrinya. Adapun jika terdapat beberapa laki-laki yang tidak punya kemampuan untuk bekerja mencari nafkah seperti lanjut usia atau cacat, maka Islam mewajibkan kepada kerabat dekat yang memiliki hubungan darah, untuk membantu mereka.
Allah berfirman: "Dan kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada pada ibu dengan cara yang ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupanya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya, dan seorang ayah karena anaknya. Dan ahli warispun berkewajiban demikian" (QA. Al-Baqarah: 233).
Maksudnya, seorang waris berkewajiban sama seperti seorang ayah, dari segi nafkah dan pakaian. Jadi jelas, jika seseorang secara pribadi tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka kewajiban memenuhi nafkah, beralih ke kerabat dekatnya.
Lalu bagaimana jika seseorang yang tidak mampu ini, ternyata tidak memiliki kerabat, atau dia memiliki kerabat, namun hidupnya pun tidak tercukupi? Dalam kondisi semacam ini, kewajiban memberi nafkah beralih ke Baitul Mal (kas negara). Dengan kata lain, negara melalui Baitul Mal, berkewajiban untuk memenuhi kebutuhannya. Anggaran yang digunakan negara untuk membantu individu yang tidak mampu, pertama-tama diambilkan dari kas zakat. Allah berfirman: "Sedekah (zakat) itu hanya diperuntukkan bagi para fakir miskin" (QS. At-Taubah: 60).
Adapun yang terakhir, maka kewajiban memenuhi kebutuhan orang miskin terletak pada kaum muslimin yang lain secara kolektif. Allah berfirman: "Di dalam harta mereka, terdapat hak bagi orang miskin yang meminta-minta yang tidak mendapatkan bahagian." (Qs. adz-Dzariyat [51]: 19).
Rasulullah bersabda, "Tidaklah beriman kepada-Ku, siapa saja yang tidur kekenyangan, sedangkan tetangganya kelaparan, sementara dia mengetahuinya." (HR. al-Bazzar).
Begitulah, bagaimana Islam memandang dan memberi solusi kepada kita dalam menilai kemiskinan. Ternyata, letaknya bukan pada kekuatan modal atau kehebatan akan menguasai pasar. Letaknya hanya pada kemampuan dan keikhlasan kita dalam mengelola sumber daya alam yang ada untuk kita pribadi, keluarga, dan masyarakat.