gravatar

Murahnya Jiwa Muslim Minoritas

Tepat pada tanggal 5 Juli 2009, pemerintah China menangkap kurang lebih dari 1.434 warga Muslim dari etnis Uighur. Dalam peristiwa penculikan itu, korban yang tewas mencapai 184 jiwa. Sedang ribuan orang lainnya, harus menderita luka-luka. Tidak hanya itu, pemerintah setempat juga melarang kaum muslimin di sana untuk melaksanakan shalat Jum’ah dan masjid-masjid di sekitar diduduki oleh tank-tank bersenjata pemerintah.

Berita ini berawal dari aksi ‘kerusuhan’ yang pecah di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, Republik Rakyat China. Kerusuhan itu terus meluas hingga ke kawasan Kashgar. Dampak dari kerusuhan itu adalah ditangkapnya ribuan warga muslim Uighur karena mereka dituduh sebagai penyebab kerusuhan.

Penangkapan yang dilakukan oleh satuan keamanan China yang dibantu oleh masyarakat dari etnis Han terhadap warga muslim Uighur terus berlangsung hingga hari-hari berikutnya. Jumlah korban yang tewas pun semakin bertambah.

Pembantaian demi pembantaian yang terjadi di Uighur tidak terjadi begitu saja. Semuanya berawal dari ketegangan antar dua etnis, yaitu etnis Uighur yang beragama Islam dengan etnis Han yang beragama komunis.

Masyarakat muslim Uighur adalah salah satu minoritas warga China yang tinggal di Provinsi Xinjiang. Nama lengkap dari daerah itu adalah Daerah Otonomi Uighur Xinjiang. Wilayah ini berbatasan dengan Tibet di tenggara, Mongolia di timur, Rusia di sebelah utara, serta Afghanistan di sebelah barat. Nama Xinjiang sendiri berarti “Daerah Baru” yang diberikan semasa dinasti Qing Manchu.

Sebenarnya, penamaan Xinjiang sendiri tidaklah diterima oleh mayoritas kaum muslim Uighur sebab penamaan itu berarti penjajahan tanah oleh China yang awalnya sudah merdeka. Ya, dulu nama daerah yang kaya akan mineral ini adalah Turkistan, dan bukan Xinjiang. Turkistan adalah kawasan Islam yang syah di masa Bani Ummayah. Qutaybah bin Muslim, seorang komandan mujahid, berhasil memasuki kota Kashgeer dan saat itulah Turkistan menjadi bagian dari wilayah kaum muslimin.
Namun pada abad ke 18, yakni di saat Daulah Islamiyah runtuh, para penjajah kafir menduduki kawasan ini dan membagi Turkistan menjadi beberapa bagian. Turkistan Barat dijajah oleh Uni Soviet, sedangkan Turkistan Timur di jajah oleh Republik Rakyat China.

Pendudukan ini pun berlangsung dengan pembantaian warga muslim Turkistan dengan cara masal oleh para penjajah kafir komunis itu. Tidak kurang dari 1.200.000 nyawa muslim Turkisatan menjadi saksi atas kebiadab-an sang penjajah komunis itu. Sedangkan sisanya harus hidup di bawah ke-pendudukan China yang diktator.

Namun perjuangan kaum muslim Uighur tidak berhenti begitu saja. Me-reka melakukan beragam perlawanan, meski tidak begitu besar jika dibandingkan dengan perlawanan rakyat Palestina terhadap Israel. Walaupun demikian, perlawanan telah mendapatkan hasilnya. Tahun 1863, kawasan Turkistan Timur merdeka dari China dan terbentuknya sistem pemerintahan yang ber-ada di bawah kepemimpinan Attalik Ghazi Yakub Bek. Di masa kepemim-pinan beliau, banyak masjid dan madrasah didirikan dan tersebar di Turkistan Timur. Kaum muslim Uighur benar-benar merasakan kebebasan dirinya sebagai muslim. Anak-anak mereka bisa sekolah di lembaga-lembaga Islam. Pun dengan wanita-wanitanya yang merasa nyaman dengan berjilbab, sebagai identitasnya selaku muslimah.

Namun kondisi yang aman dan sejahtera ini tidak berlangsung lama. China kembali menduduki Turkistan Timur pada tahun 1878. Selang beberapa tahun dari waktu itu, yakni pada tanggal 18 November 1884, kawasan Turkistan Timur dijadikan bagian dari negara China sebagai provinsi baru serta diganti namanya menjadi Xinjiang, dan Urumqi dipilih sebagai ibu kotanya.

Meski situasi sudah berubah, hal ini tidak merubah semangat jihad kaum Muslim Uighur untuk melepaskan diri dari cengkeraman komunis China. Ge-lombang perlawanan terus datang bertubi-tubi. Sebagai dampaknya, pemerintah China pun semakin gencar mem-bunuh dan membantai kaum Muslim Uighur. Kebencian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin harus berhadapan dengan semangat kemerdekaan dari para pejuang muslim Uighur.

Semangat ini pun, untuk beberapa kalinya, membuahkan hasil. Tanggal 12 November 1933, Abdul Qaddir Da-mulla, seorang pemimpin perjuangan masyarakat Uighur, berhasil memproklamirkan kemerdekaan di kawasan ini. Sebagai wujudnya, dibentuklah negara Republik Turkistan Timur. Namun lagi-lagi kebencian sang negara komunis itu kembali merebut kemerdekaan kaum Muslim Uighur. Hanya berselang satu tahun, yakni 1934, China yang didu-kung oleh Rusia kembali menduduki kawasan itu yang tentunya berujung pada kematian massal warga muslim di sana.

Sejak perebutan itu hingga sekarang, kaum muslim Uighur tidak pernah lagi hidup dalam keamanan dan kedaimaian. Mereka terus menerus menjadi objek kebencian sang komunis. Meski dijanjikan sebagai kawasan otonomi, namun pemerintahan China sama sekali tidak memberikan rasa aman bagi mereka.

Rezim komunis benar-benar telah membantai warga muslim di sana. Tidak tanggung-tanggung, 4,5 juta nyawa etnis Uighur telah lenyap di bawah rezim Mao Tse Tung. Lebih dari itu, rezim komunis pun mengembargo masyara-kat Uighur dan tidak memberikan hak untuk pergi ke luar kawasan Xianjiang.

Rezim komunis ini memang benar-benar sangat benci kepada Islam. Agama Islam sudah dipandang sebagai agama ilegal yang dilarang di China. Sebagai konsekuensinya, madrasah-madrasah Islam, masjid-masjid, mengenakan jilbab, dilarang oleh pemerintah. Kalaupun diijinkan, maka hal itu akan diatur sedemikian ketat.

Lebih sadis lagi, kawasan Xinjiang sering dijadikan sebagai tempat uji coba nuklir. Hal ini sengaja dilakukan agar kawasan itu menjadi kawasan yang tidak sehat dan berpenyakit bagi warga di sana. Ini merupakan bentuk kejahatan yang jelas, yakni pemerintah Cina benar-benar berusaha untuk membersihkan etnis Uighur.

Begitulah. Gambaran yang ada pada kaum muslim Uighur hanyalah satu di antara sekian potret kehidupan warga muslim lainnya di penjuru dunia. Sama halnya dengan apa yang kini terjadi di Irak, Palestina, Afghanistan, dan Pakistan. Di manapun mereka berada, terlebih bagi warga muslim minoritas, mereka tidak mendapatkan keadilan. Mereka tidak dapat menjalankan hak-hak dasar hidup mereka. Selalu saja pemerintah setempat menggunakan alasan sama, yaitu warga muslim sebagai ancaman yang bisa menimbulkan ketidakstabilan. Sementara itu, negara-negara kaum muslimin yang lain, sangat sedikit yang serius mengatasi permasa-lahan-permasalahan ini. Entah sampai kapan hal ini terus berlangung. Yang pasti, kini harga nyawa seorang muslim benar-benar dibayar murah.
Allahu Akbar...