gravatar

TAHLILAN (bag. 2)

Para Ulama Yang Menolak Perjamuan Tahlilan
Pada umumnya, ketika menolak/melarang terhadap pelaksanaan prevalensi perjamuan tahlilan, para ulama tersebut menggunakan argumen naqly yang sama, yaitu berdasarkan Hadits Mauquf (Atsar) yang diterima dari shahabat Jarir bin ‘Abdullah al Bajali. Namun meskipun demikian, kami kutip pula komentar-komentar yang diberikan oleh para ulama, sebagai penjelas terhadap argumen naqly tersebut.

Madzhab Hanafiyah

• Hasyiyah Radd al Muhtar’ala al Dar al Mukhtar (Hasyiyah ibn ‘Abidien)
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam moment bahagia, bukan dalam moment musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah meriwayatkan sebuah Hadits dengan sanad yang shahih dari shahabat Jarir bin ‘Abdullah, beliau berkata: kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, adalah merupakan bagian dari nihayah. Dan dalam kitab al Bazaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, letiga, serta seminggu setelah kematian adalah makruh hukumnya”.

• Hasyiyah al Thahthawy ‘ala Maraqi al Falah
“Hidangan dari keluarga mayit hukumnya adalah makruh, dikatakan dalam kitab al Bazaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian adalah makruh hukumnya”.

• Syarh Fath al Qadir
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam moment bahagia, bukan dalam moment musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksana-kan. Imam Ahmad dan Ibn Majah meriwayatkan sebuah Hadits dengan sanad yang shahih dari shahabat Jarir bin ‘Abdullah, beliau berkata: kami (para shahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah mayit serta penghidangan makanan oleh mereka, adalah merupakan bagian dari perbuatan meratapi mayit”.

Madzhab Malikiyah

• Hasyiyah al Dasuqy
“Adapun berkumpul di dalam rumah keluarga mayit yang menghidangkan makanan hukumnya adalah bid’ah yang dimakruhkan”.

• Mawahib al Jalil
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut adalah dimakhruhkan oleh mayoritas ulama, bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah, karena tidak adanya keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut, dan moment tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…… adapun apabila keluarg amayit menyembelih binatang di rumahnya kemudian dibagikan kepada orang-orang fakir sebagai shadaqah untuk mayit, adalah diperbolehkan selama hal tersebut tidak menjadikannya riya, ingin terkenal, bangga, serta dengan syarat tidak boleh mengumpulkan masyarakat”.

Madzhab Syafi’iyah

• Mughny al Muhtaj
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya adalah bid’ah yang tidak disunnahkan”.

• Hasyiyah al Qalyuby
“Guru kita al Ramly telah berkata: sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab al Raudi (al Nawawy), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid'ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian”.

“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkum-pulnya masyarakat dalam acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli-nya, dan hal tersebut adalah merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan”.

• Tuhfah al Muhtaj
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya adalah bid’ah munkarah yang dimakruhkan, berdasarkan keterangan shaih dari shahabat Jarir bin ‘Abdullah”.

• I’anah al Thalibin
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari pada penghidangan makanan oleh keluarga mayit, dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya adalah bid’ah yang dimakruhkan, seperti hukum mendatangi undangan tersebut, berdasarkan keterangan shahih dari shahabat Jarir ibn ‘Abdullah”.

• Al Aqkirmany
“Adapun makanan yang dihidangkan oleh keluarga mayit pada hari ketiga, keempat, dan sebagainya, berikut berkumpulnya masyarakat dengan tujuan sebagai pendekatan diri serta persembahan kasih sayang kepada mayit, hukumnya adalah bid’ah yang buruk dan merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah yang tidak pernah muncul (dikerjakan) pada abad pertama Islam, serta bukan merupakan bagian dari pekerjaan yang mendapat pujian (dianggap baik) oleh para ulama. Justeru para ulama berkata: tidak pantas bagi orang muslim mengikuti perbuatan-perbuatan yang biasa dilakukan oleh orang kafir. Seharusnya setiap orang melarang keluarganya untuk menghadiri acara-acara tersebut”.

• Al Iqna’ li al Syarbiny
“Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut, hukumnya adalah bid’ah yang tidak disunnahkan”.

• Raudlah al Thalibien
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut adalah tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.

Madzhab Hanabilah

• Al Mughny
“Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit, hukumnya adalah makruh. Karena dengan demikian berarti telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan ‘bahwa Jarir mengunjungi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata: Apakah kalian suka meratapi mayit?. Jawab Jarir: Tidak, ‘Umar berkata: Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayat yang kemudian menghidangkan makanan? Jawab Jarir: Ya. Berkata ‘Umar: Hal tersebut termasuk meratapi mayat’. Namun apabila hal tersebut dibutuhkan (ada hajat), maka diperbolehkan , seperti karena diantara pelayat terdapat orang-orang yang jauh tempatnya kemudian ikut menginap, sementara tidak memungkinkan mendapat makanana kecuali dari hidangan yang diberikan dari keluarga mayat”.

Demikian penjelasan para ulama' dari 4 madzhab tentang tradisi tahlilan. Kesimpulannya adalah tahlilan bertentangan dengan petunjuk Rasulullah dan para Shabatnya.