gravatar

TAHLILAN (bag. 1)

Makna Tahlilan
Telah kita maklumi bersama, perjamuan tahlilan adalah merupakan upacara ritual (seremonial) memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Indonesia, terutama masyarakat pedesaan. Acara tersebut diselenggarakan ketika salah seorang/sebagian dari anggota keluarga telah meninggal dunia. Secara bersama-sama, setelah proses penguburan selesai dilakukan, seluruh keluarga, handai taulan, serta masyarakat sekitar berkumpul di rumah keluarga mayit untuk menyelenggarakan acara pembacaan beberapa surat al-Qur’an, dzikir, berikut doa-doa yang ditujukan untuk mayit di “alam sana”. Karena dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang (seratus kali), maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.

Pada saat itu pula, keluarga mayit menghidangkan makanan serta minuman untuk menjamu orang-orang yang sedang berkumpul di rumah tersebut. Biasanya acara seperti itu terus berlangsung setiap hari sampai menginjak hari ketujuh dari saat kematian, atau terkadang ada yang menyelenggarakannya hanya pada hari pertama, ketiga serta ketujuh saja. Setelah itu, untuk sementara kegiatan dihentikan, baru setelah menginjak hari keempat puluh, acara diselenggarakan kembali dengan materi hidangan yang lebih istimewa. Kemudian pada hari keseratus, acara diselenggarakan kembali dengan menu hidangan yang biasanya lebih istimewa dari hari keempat puluh. Untuk selanjutnya acara baru diselenggarakan kembali apabila saat kematian telah menginjak tempo setahun serta tiga tahun.

Model hidangan yang disajikan di setiap acara biasanya selalu variatif, tergantung adat yang biasa berjalan di tempat tersebut, namun pada dasarnya, menu hidangan tersebut “lebih dari sekedarnya”, bahkan cenderung tidak berbeda dengan menu hidangan yang biasa disajikan pada acara-acara lainnya yang berbau “kemeriahan”. Sehingga secara sepintas acara tersebut layaknya sebuah pesta kecil-kecilan. Bahkan tidak jarang (mungkin tidak disadari?) dengan sendirinya muncul senda gurau dan gelak tawa di dalam acara tersebut, memang demikianlah kenyataannya.

Turun temurun, entah telah berapa abad lamanya acara tersebut biasa diselenggarakan, hingga secara tanpa disadari telah terformulasikan menjadi sebuah tradisi (kelaziman). Sebagai konsekuensinya, sangat jarang dijumpai keluarga yang tidak menyelenggarakan acara tersebut, dengan alasan mempunyai semacam ketakutan moral diasingkan dari arena sosial, karena dianggap telah bersikap acuh-tak acuh terhadap anggota keluarga yang telah meninggal dunia, serta telah melanggar adat, dan setumpuk tuduhan lain yang dilemparkan oleh masyarakat umum. Bahkan lebih jauh, acara tersebut bukan saja telah berhasil membangun imaji norma, namun juga telah berhasil menciptakan imaji hukum, bahwa acara tersebutmemiliki muatan hukum sunnah untuk dilaksanakan serta bid’ah apabila ditinggalkan.

Berikut adalah kutipan dari majalah al Mawa’idz yang diterbitkan oleh organisasi NU pada tahun 30-an, menyitir perkataan Imam al Khara’ithy yang dikutip oleh Kitab al Akqirmany: “Al Khara’ithy menyebutkan dari Hilal bin Hibban, beliau berkata:

"Penghidangan makanan oleh keluarga mayit adalah merupakan bagian dan perbuatan orang-orang jahiliyah (bodoh)’. Kebiasaan tersebut oleh masyarakat sekarang sudah dianggap sunnah, dan meninggalkannya berarti bid’ah, maka telah terbalik suatu urusan dan telah berubah suatu kebiasaan”.

Dewasa ini, arus (sepihak) pandang masyarakat terhadap muatan hukum tradisi perjamuan tahlilan telah sedemikian kuatnya, sehingga memunculkan opini publik yang memberikan kesimpulan bahwa tradisi tahlilan telah me-nasional (apalagi setelah acara tersebut pernah dilaksanakan oleh salah seorang presiden Indonesia, pada waktu isterinya meninggal dunia, yang dihadiri oleh banyak ulama dari berbagai kalangan yang mempunyai latar belakang berbeda-beda, sehingga secara tidak langsung acara tersebut telah terlegitimasi oleh kehadiran ulama-ulama tersebut), sementara masyarakat Indonesia pada umumnya adalah merupakan penganut madzhab Syafi’i.

Berangkat dari kenyataan tersebut, melalui tulisan ini, kita kaji kedudukan hukum tradisi perjamuan tahlilan, dengan menitik beratkan kepada proses-proses perjamuannya.

Aspek Historis Tahlilan
Tersebutlah suatu ajaran penyembahan terhadap Tuhan “Yang”, diperkirakan muncul sekitar tahun 5000 sebelum Masehi. “Yang” adalah merupakan dewa langit sebagai pemberi, berlambangkan warna merah dan bersifat jantan. Kebanyakan penyembah Tuhan “Yang” tidak mengakui akan keberadaan surga dan neraka, walaupun mereka percaya akan adanya pembalasan di alam Akhirat.

Di alam Akhirat tersebut terdapat tempat hukuman dan terdapat tempat kebahagiaan, tempat hukuman itu berupa penjara yang di dalamnya terdapat bermacam jenis siksaan, sebaliknya tempat kebahagiaan itu berupa ketentraman kembali hidup di alam Akhirat, tidak terganggu dan serba berkecukupan.

Untuk menghormati atau menghargai, serta mendoakan orang yang telah meninggal dunia, para penyembah Tuhan “Yang” biasa menyelenggarakan upacara peringatan kematian dengan tata urutan waktu sebagai berikut:

• Upacara Sehari Kematian
• Upacara Tiga Hari Kematian
• Upacara Tujuh Hari Kematian
• Upacara Sembilan Hari Kematian
• Upacara Lima Belas Hari Kematian
• Upacara Empat Puluh Hari Kematian
• Upacara Seratus Hari Kematian
• Upacara Setahun Kematian, dan
• Upacara Tiga Tahun Kematian

Di dalam perkembangan selanjutnya, ajaran penyembahan terhadap Tuhan “Yang” banyak mengalami sinkretisasi (pembauran) dengan agama lain. Untuk Wilayah Indonesia pada umumnya, terdapat sinkretisasi antara ajaran penyembahan terhadap Tuhan “Yang” dengan agama Hindu, Budha, serta Islam.

Di daerah seperti Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, Sumbawa, Sulawesi Selatan, dan Jawa, meskipun terdapat pula sinkretisasi, namun nilai-nilai keislamannya masih jauh lebih menonjol dibandingkan dengan nilai-nilai dari ajaran lainnya, dan pembaurannya pun relatif masih dapat dikenali, yaitu hanya dalam bidang upacara adat dan upacara memperingati hari kematian saja.

Namun meskipun peringatan upacara kematian biasa dilakukan oleh umat Islam, tetapi praktis lapangannya tidak sama persis dengan upacara peringatan kematian yang biasa dilakukan oleh penganut agama lain, proses pembakaran kemenyan dan penyediaan sesaji dihilangkan (walaupun di sebagian tempat, hal tersebut masih ada yang biasa dilakukan), bahkan di dalamnya dapat kita jumpai bacaan beberapa ayat al Qur’an, dzikir-dzikir, shalawat berikut doa-doa.

Setelah melalui berbagai perubahan berikut penambahan, maka jadilah upacara peringatan hari kematian itu seperti tampak sekarang, yaitu Tradisi Tahlilan.

Tahlilan Menurut Perspektif Ulama
Terhadap kedudukan hukum tradisi perjamuan tahlilan, pandangan para ulama ahli fikih terpetakan kedalam dua kubu pendapat, yang satu sama lain saling bertentangan secara diametral, yaitu pendapat ulama yang menolak/melarangnya versus pendapat ulama yang menerima/memperbolehkannya. Melalui penelitian kepustakaan, pendapat para ulama tersebut, berdasarkan pernyataan-pernyataannya yang terpresentasikan di dalam kitab-kitabnya.

Ulama yang menolak/melarang pelaksanaan perjamuan tahlilan melandaskan pendapatnya dengan menggunakan argumen ‘aqly (logika) dan argumen naqly (al Hadits). Pada dasarnya, baik argumen ‘aqly maupun argumen naqly, keduanya memiliki akar yang sama, yaitu hendak menghilangkan atau menghindari pembebanan terhadap “kelapangan” hukum asal di dalam agama Islam. Hal tersebut sesuai dengan inti muatan pesan dari Hadits.

“Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah”. (HR. Bukhari)

Menurut argumen ‘aqly, prevalensi perjamuan tahlilan harus ditolak dan tidak boleh dilaksanakan karena:
• Di dalamnya terdapat unsur memberatkan kepada pihak keluarga mayit.
• Mengandung ekses negatif (tidak jarang acara tersebut pada akhirnya menimbulkan konflik di antara anggota keluarga mayit yang diakibatkan karena masalah harta yang dipakai sebagai biaya pelaksanaan prevalensi tersebut).

Adapun argumen naqly yang digunakan untuk menolak/melarang prevalensi perjamuan tahlilan didasarkan kepada beberapa hadits:

• Yang diterima dari shahabat Jarir bin ‘Abdullah al Bajaly, kemudian dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn Majah, yaitu: “Kami (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka adalah merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

• Yang diterima dari Thalhah, yaitu: “Shahabat Jarir mendatangi ‘Umar, ‘Umar berkata: Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit? Jarir menjawab: Tidak, ‘Umar berkata: Apakah di antara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya? Jarir menjawab: Ya, ‘Umar berkata: Hal demikian itu adalah sama dengan niyahah”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).

• Yang diterima dari Sa’id bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al Bukhtary, kemudian dikeluarkan oleh ‘Abd al Razaq. Hadits tersebut, dengan lafazh berbeda dikeluarkan pula oleh Ibn Aby Syaibah melalui perjalanan sanad:Fudhalah bin Hashien, ‘Abd al Karim, Sa’id bin Jabbier, yaitu: “Tiga perkara yang merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah adalah niyahah, hidangan dari keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”.

Ulama yang menerima atau memperbolehkan pelaksanaan tradisi tahlilan melandaskan pendapatnya dengan menggunakan argumen ‘aqly. Argumen ‘aqly yang mereka gunakan adalah berdasarkan Istihsan, menurut mereka di dalam pelaksanaan tersebut setidaknya terdapat nilai-nilai shadaqah (ibadah) melalui pembagian makanan serta dzikir-dzikir dan doa-doa (ibadah). (bersambung)