Filsafat bersilat Lidah (bag. 1)
Kajian filsafat selalu menjadi sorotan bagi para cendikiawan di seluruh dunia. Dari sejak masa Yunani kuno sampai saat ini, filsafat tidak pernah surut melahirkan tokoh-tokoh ternama dan orientasi pemikiran yang bermacam-macam. Bahkan, ilmu yang dianggap sebagai induk semua ilmu ini amat diminati oleh kalangan muda muslim di beberapa perguruan tinggi. Padahal, filsafat tidak lain adalah ilmu yang meracuni umat.
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani. Tersusun dari dua kata, fila yang berarti mengutamakan atau mencintai, dan sophia yang berarti ilmu atau hikmah. Jadi, filsafat artinya mencintai ilmu. Sedangkan filosof artinya orang yang mengutamakan hikmah (ilmu). Definisi filsafat menurut Dr. Taufiq Thawil ialah: Penalaran akal yang terbebas dari semua ikatan atau pengaruh dari luar dan penyebarluasan hasil penalaran tersebut, meskipun sangat berbeda dengan ‘uruf (tradisi) yang berlaku dan kepercayaan agama. (Al-Mausu’ah al-Muyassarah, Dr. Mani’ bin Hammad al-Juhani, jilid 2, hlm. 1119).
Salah seorang tokoh filsafat Yunani, Aristoteles, mengartikan bahwa definisi filsafat sama dengan hikmah, karena ia membahas tentang sebab dan awal sesuatu. Adapun tujuan dari filsafat tersebut adalah mencari kebenaran. Dengan pengertian ini, berfilsafat adalah upaya mengerahkan kemampuan akal dan nalar logika yang didorong oleh perasaan ingin tahu untuk menghasilkan kepuasan rasional dalam menyingkap hakikat segala sesuatu. Hal ini tidak didasari oleh wahyu atau doktrin agama sehingga filsafat dianggap lebih kuat dan terpercaya daripada dalil-dalil agama. Dengan makna seperti itu, filsafat telah menjadi suatu thaghut yang paling berbahaya dan paling memusuhi agama dengan menggunakan manthiq (logika) sebagai senjatanya. Dengan senjata tersebut para ahli filsafat bisa membuat rancu pemikiran umat dengan dalih logika, penafsiran akal, dan lain-lain.
Asal Usul Filsafat
Istilah filsafat tidak pernah dikenal sebelumnya. Menurut sebagian ahli, kata ini pertama kali digunakan oleh salah seorang Yunani yang bernama Socrates. Socrates menuturkan bahwa ilmu filsafat tidak ditujukan untuk mencari materi belaka. Ia mengabdikan seluruh hidupnya untuk menelusuri hakikat dari segala sesuatu dan meluruskan segala bentuk kesalahan atau prasangka. Ia sangat berkeinginan untuk mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Filsafat tidak hanya terdapat di Yunani, tetapi di bangsa-bangsa yang memiliki sejarah klasik juga terdapat filsafat, seperti di India, Persia, China, dan Mesir Kuno. Akan tetapi bangsa yang paling maju dan berpengaruh kajian filsafatnya adalah Yunani. Filsafat mulai masuk dan meyelinap ke tubuh umat Islam sejak zaman Harun ar-Rasyid, seorang penguasa dari kalangan ‘Abbasiyah. Akan tetapi kajian filsafat yang berkembang ketika itu tidak sampai menyentuh masalah-masalah theologi (aqidah). Harun ar-Rasyid memang berupaya untuk mentransfer ilmu-ilmu filsafat yang terkait dengan ketabiban (kedokteran), astronomi, hisab (matematika), dan ilmu-ilmu eksak lainnya yang memang bermanfaat bagi kaum muslimin. Inilah yang dilakukan olehnya. Sepeninggal beliau, ketika kekuasaan berada di tangan al-Makmun (abad sembilan Miladi), dia berusaha keras untuk menransfer filsafat Yunani ke tengah-tengah umat Islam. Mulailah dia menginstruksikan gerakan penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab. Sejak itulah filsafat mulai dikaji oleh para ilmuwan muslim.
Akibat dari penerjemahan kitab-kitab tersebut muncullah di tengah-tengah umat Islam berbagai macam firqah-firqah (sekte-sekte) yang menyuarakan pendapat-pendapat ilmu kalam (theologi). Di antaranya ialah:
• Qadariyah, sekte kalam yang mengingkari takdir Allah St. Mereka berpendapat bahwa manusia menentukan sendiri pilihannya dan perbuatannya tanpa ada keterlibatan takdir.
• Jabariyah, sekte yang muncul sebagai reaksi atas pemikiran Qadariyah.
• Mu’tazilah, sekte yang sangat terpengaruh dengan filsafat. Di antara prinsipnya ialah mendahulukan akal (logika) daripada nash-nash al-Qur'an.
• Mu’aththilah, sekte yang menafikan bahwa Allah St memiliki sifat-sifat.
• Asy’ariyah, sekte yang men-ta’wil-kan sifat-sifat Allah yang dianggap menyerupai makhluk-Nya.
Di masa al-Makmun tersebut menyebar suatu pendapat yang meyakini bahwa al-Qur'an adalah makhluk (ciptaan) Allah, bukan kalam (perkataan)-Nya. Lebih parah lagi, al-Makmun cenderung dengan pendapat tersebut sehingga dia menggunakan kekuasaannya untuk menyebarkan pemahaman itu. Bahkan dia mewajibkan seluruh rakyat untuk menerima pemahaman yang sesat itu dan menyiksa siapa saja yang menolaknya. Akan tetapi para ulama Ahlus Sunnah tidak tinggal diam, mereka dengan gigih menentang kesesatan berpikir tersebut. Yang paling keras menentang pendapat al-Makmun ketika itu ialah Imam Ahmad bin Hambal.
Seiring berjalannya waktu, Mu’tazilah sebagai suatu sekte (firqah), telah lenyap ditelan sejarah. Akan tetapi beberapa pemikiran mereka masih diadopsi oleh sebagian umat Islam. Sampai saat ini, filsafat Yunani masih memberikan andil dan meninggalkan jejak-jejaknya dalam semua aliran pemikiran Barat, baik yang klasik maupun modern. Bahkan sebagian besar sekte-sekte kalam di kalangan umat Islam juga terpengaruh dengan filsafat tersebut, sampai detik ini. Namun, sebagai suatu kurikulum resmi, filsafat tidak pernah diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam kecuali di masa Musthafa Abdur Razzaq menjadi rektor al-Azhar. Dialah yang pertama kali memasukkan mata kuliah Filsafat Islam sebagai salah satu mata kuliah resmi di samping ilmu-ilmu untuk syari’at lainnya. Ini beliau lakukan sebagai reaksi atas hujatan Barat terhadap Islam yang dianggapnya miskin dan kosong dari filsafat . Padahal sebenarnya filsafat adalah suatu barang asing yang menyusup ke tengah-tengah kaum muslimin. Dalam Islam tidak ada filsafat, dan filsafat bukan bagian dari Islam. Oleh karena itu, istilah Filsafat Islam adalah suatu penamaan yang rancu dan menyesatkan.
Di beberapa universitas, seperti IAIN terdapat beberapa kurikulum filsafat yang diajarkan ada pula mata kuliah Kajian Orientalisme terhadap al-Qur'an dan Hadits yang diajarkan di fakultas Ushuluddin. Kajian ini memang terkesan ilmiah dan kritis, didukung dengan fakta-fakta yang konon ‘ilmiah. Namun, sesungguhnya kajian ini adalah proses penyesatan umat Islam, sehingga para mahasiswa muslim bisa terpedaya dengan syubhat-syubhat orientalis dan berbalik meragu-ragukan al-Qur'an dan Hadits.