gravatar

HAM melanggar HAM

Mungkin Anda masih ingat dengan kasus 1 Juni yang melibatkan Ormas Front Pembela Islam (FPI) dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB)? Kasus tadi hanyalah sekian dari beberapa kasus yang sarat dengan pelanggaran HAM. Sepanjang sejarah negeri ini, banyak terjadi kasus-kasus yang dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM.

Singkatnya, pelanggaran HAM sendiri adalah sebuah tindakan yang menganiaya pihak lain hingga hak-hak kemanusiaannya tidak terpenuhi. Namun masalahnya adalah, penafsiran pelanggaran HAM dan norma HAM itu sendiri masih banyak diperbincangkan.

Contoh kasus di atas, pihak AKKBB segera mengusut peristiwa ini dengan alasan bahwa tindakan yang dilakukan oleh FPI terhadap mereka adalah melanggar HAM. Begitu pula dengan FPI yang dituding melakukan aksi anarkis pada peristiwa itu, pun menilai bahwa peristiwa 1 Juni hingga hari-hari proses penyelesaiannya adalah sarat dengan pelanggaran HAM. Seperti, aksi yang dilakukan oleh AKKBB di depan monas itu tidak mengantongi izin dari aparat pemerintah hingga hal ini masuk dalam kategori melanggar hak-hak kemanusiaan, banyaknya kedustaan-kedustaan media massa dalam pemberitaan peristiwa ini yang dinilai menyudutkan FPI, serta proses penang-kapan, penahanan, dan pengadilan Habib Riziq, Munarman, beserta ang-gotanya dinilai melanggar HAM.

Jika ditelusuri akar permasalah-annya, aksi yang dilakukan oleh AKKBB didasari pembelaan mereka terhadap Ahmadiyah. Mereka menganggap bahwa aksi mereka itu sebagai bentuk perjuangan mereka untuk membela HAM. Bagaimana tidak, AKKBB menilai bahwa pelarangan Jama’ah Ahmadiyah oleh pemerintah dan beberapa ormas Islam, adalah bentuk pelanggaran HAM. Mereka meyakini bahwa konsep HAM yang seharusnya adalah memberi kebebasan kepada siapapun untuk memilih keyakinannya masing-masing tanpa ada paksaan dan larangan.

Begitu pula dengan komunitas Ahmadiyah, melarang ibadah mereka berarti melanggar HAM. Dari sini, AKKBB beserta komunitas-komunitas di belakangnya seperti JIL, akan terus membela Ahmadiyah atas nama HAM.

Padahal di lain sisi, pemerintah sudah jelas melarang aktivitas Ahmadiyah jauh-jauh hari sebelum SKB Tiga Menteri karena aliran Ahmadiyah telah terang-terangan menodai ajaran Islam.

Apa yang menjadi kasus tadi, seakan memberi gambaran kepada kita betapa lemahnya eksistensi hukum yang ada di negeri ini. Kalaupun ada keberanian hukum, terkadang banyak kepentingan-kepentingan yang sifatnya pribadi hingga kebenaran itu ma-sih terasa samar.

Jika kita mengembalikan urusan ini kepada hukum yang ada, tentu masalah-masalah di atas bisa ‘dikondisikan’. Indonesia sebagai negara hukum, sudah memiliki konsep HAM tersendiri. Namun, konsep ini tidak persis sama dengan konsep HAM versi PBB. Dari wacana inilah, kadang terjadi konfrontasi yang hebat. Banyak LSM-LSM pembela HAM yang membenturkan konsep HAM PBB dengan konsep yang dimiliki oleh Indonesia.

Secara singkat, HAM menurut dokumen PBB adalah sebagai berikut:

• Semua manusia mempunyai hak yang sama.
• Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan tanpa perkecualian seperti misalnya bangsa, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik, asal usul kebangsaan, dan kelahiran.
• Setiap orang berhak atas penghidupan, kemerdekaan dan keselamatan seseorang.
• Tidak boleh ada perbudakan.
• Tidak boleh ada penganiayaan.
• Setiap orang berhak atas pengakuan sebagai manusia pribadi.
• Semua orang berhak atas perlindungan hukum yang sama.
• Setiap orang berhak atas pengadilan yang efektif.
• Tidak boleh ada penangkapan, penahanan atau pembuangan sewenang-wenang.

Sedangkan dalam Undang-Undang yang ada di Indonesia Nomor 39 Ta-hun 1999, Tentang Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) disebutkan:

• Hak untuk hidup
• Hak untuk berjodoh
• Hak untuk mengembangkan diri
• Hak untuk memperoleh keadilan
• Hak atas kebebasan pribadi.
• Hak atas rasa aman
• Hak atas kesejahteraan
• Hak turut serta dalam pemerin-tahan.
• Hak Wanita.
• Hak Anak.

Konsep HAM dalam Dokumen PBB lebih mengedepankan masalah hak-hak manusia secara individu, sedangkan dalam Undang-Undang yang ada di Indonesia, selain mempunyai hak yang disebut Hak-Hak Asasi Manusia, juga menjelaskan beberapa kewajiban manusia sebagai warga masyarakat. Kewajiban itu adalah:

• Wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tidak tertulis dan hukum internasional mengenai HAM yang diterima negara Indonesia.
• Wajib bela negara berdasarkan Undang-Undang.
• Wajib menghormati HAM orang lain, moral, etika.

Kesimpulannya, dokumen HAM PBB dan dokumen HAM Indonesia memiliki perbedaan. Dokumen PBB tidak mengutarakan kewajiban manusia secara jelas. Akibat ketidakjelasan ini, dokumen PBB itu kerapkali berubah menjadi alat provokasi oleh kalangan tertentu, terhadap negaranya sendiri. Ketika hak-hak atau kepentingan kalangan tertentu terganggu di negaranya, mereka menggunakan dokumen PBB untuk mengekspresikan, membenarkan, dan sekaligus mempertahankan hak-hak atau ke-pentingannya itu.

Padahal dalam dokumen HAM versi Indonesia, pelaksanaan HAM harus sejalan harmonis dengan tugas dan kewajiban manusia sebagai bagian dari masyarakat. Tidak dibenarkan hanya menuntut haknya saja. Ibaratnya, tidak dibenarkan menjadi seorang ‘pemeras’ yang memaksa hak-haknya dipenuhi hingga hak-hak orang lain terganggu. Begitu pula, seseorang tidak dibenarkan melakukan kewajibannya jika ada hak-hak orang lain yang terganggu, misalnya terjadi perbudakan.

Atas Nama HAM

“Atas nama HAM, jangan larang siapapun yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi dan pemimpinnya.”

“Atas nama HAM, biarkan siapapun untuk memeluk agamanya dan keyakinannya masing-masing.”

“Atas nama HAM, jangan campuri urusan aqidah, syariat, dan akhlak dengan urusan negara.”

“Atas nama HAM, biarkan siapapun untuk mengkritik agama dan menyampaikan ide-idenya tentang teologi dan hukum.”

“Atas nama HAM, biarkan siapapun untuk mengekspresikan dirinya lewat seni tanpa ada batasan apapun dan siapapun.”

“Atas nama HAM, pertahankan ajang Miss Universe, Miss Indonesia, Miss Waria, dan ajang-ajang fashion serta kewanitaan lainnya.”

“Atas nama HAM, biarkan wanita-wanita muslimah untuk melepas jilbab mereka dan terjun ke dunia entertainment.”

“Atas nama HAM, jangan kekang kami, jangan pedulikan kami, jangan urusi kami, dan jangan menilai kami. Kami ingin bebas dan menjadi manusia seutuhnya tanpa ada paksaan atau aturan yang membatasi gerak langkah kami.”

“Maka atas nama HAM, kami menolak Hak-Hak Tuhan.”

Paparan tadi menggambarkan beberapa pemikiran dari sebagian orang yang bebas melakukan sesuatu dan berlindung di bawah payung HAM. Gambaran tadi memang wajar terjadi karena toh negeri ini belum memiliki konsep HAM yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Entah siapa yang melanggar HAM dan perkara apa saja yang dilanggar, pun masih dalam persoalan.

gravatar

Kan lebih baik berhukum dengna apa yang Allah dan Rasul-Nya nyatakan..... daripdada berhkum dengan hukum yang gak jelas...